MENGENAL IBN BATUTTAH, SANG PENGELANA DUNIA

Ia adalah seorang cendekiawan Maroko yang pernah berkelana ke berbagai pelosok dunia pada Abad Pertengahan. Dalam jangka waktu tiga puluh tahun, Ibnu Batutah menjelajahi sebagian besar Dunia Islam dan banyak negeri non-Muslim, termasuk Afrika Utara, Tanduk Afrika, Afrika Barat, Timur Tengah, Asia Tengah, Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Tiongkok. Riwayat perjalanan Ibnu Batutah menyajikan gambaran tentang peradaban Abad Pertengahan yang sampai sekarang masih dijadikan sumber rujukan. Dari beberapa catatan sejarah, Ibnu Batutah melakukan perjalanan di 44 negara di seluruh dunia dengan mayoritas muslim. Di kawasan itu, dia melakukan pendekatan baik secara budaya maupun agama untuk mempelajari apa saja yang ada.

Inilah cerita Ibn Batuttah yang di lansir dari laman historia.id

Ibnu Battuta mengembara dengan keledainya meninggalkan kota kelahirannya di Tangier, Maroko. Ia pergi seorang diri ke arah timur di sepanjang wilayah Afrika Utara, melewati lembah sungai dan daratan-daratan kering yang diapit serangkaian pegunungan.

“Tujuanku untuk berziarah ke Kabah (di Makkah), dan untuk mengunjungi makam Nabi,” ungkapnya dalam Rihla.

Ketika meninggalkan rumah, Ibnu Battuta berusia 21 tahun. Gairahnya berpetualang ke dunia luar begitu membara. Ia berharap bisa belajar lebih banyak.

Menurut Ross E. Dunn, sejarawan San Diego State University, dalam Petualangan Ibnu Battuta, Seorang Musafir Muslim Abad 14, Ibnu Battuta tak lebih sebagai musafir kesepian yang berhasrat bergabung dengan siapa saja yang dapat menerimanya sebagai teman.

“Aku sudah dipengaruhi keinginan yang mendadak menguasai batin dan sebuah hasrat yang sudah lama berkembang dalam dada untuk mengunjungi tempat-tempat suci yang semarak itu,” ujar Ibnu Battuta.

Setelah dua atau tiga pekan, Ibnu Battuta beroleh kawan seperjalanan. Bersama pedagang Ifriqiya (kini, Tunisia), ia tiba di pelabuhan Aljir. Ini adalah pemandangan Laut Tengah yang pertama kali baginya.Selama beberapa kali perjalanan, Ibnu Battuta beruntung terhindar dari para penyamun. Ia sering mampir di beberapa tempat, salah satunya untuk menunggu musim haji. Hampir satu setengah tahun kemudian, ia dengan senang memasuki lembah sempit Makkah yang berwarna coklat. Ia segera menuju Rumah Suci yang tak terlukiskan itu.

Setelah tujuan naik haji tercapai, Ibnu Battuta pergi ke Baghdad bersama peziarah asal Irak. Tujuan pengembaraannya bukan lagi religi, tapi petualangan. Dari sinilah, ia memulai penjelajahan dunia.

“Dampak apapun yang menggetarkan ibadah hajinya yang pertama mungkin telah melandanya,” catat Dunn. “Ia bukan lagi anak muda yang berdiri putus asa di pusat Kota Tunis tanpa tujuan dan tanpa orang untuk diajak bicara.”

Seperti diungkapkan dalam memoarnya, Rihla, Ibnu Battuta mendadak sangat berhasrat pergi ke Tanah Suci. Dengan berat, ia meninggalkan rumah dan orang tua, seperti burung meninggalkan sangkar. Ia pergi pada 2 Rajab 725 Hijriah atau 14 Juni 1325. Keputusan Ibnu Battuta melanjutkan pengembaraan usai naik haji membawanya ke pusat-pusat utama Islam pada waktu itu. Bahkan, ia sampai ke perbatasan dunia Islam di Asia (India dan Cina) dan Afrika (Mali). Abu ‘Abdallah Muhammad Ibn’ Abdallah ibn Muhammad ibn Ibrahim al-Lawati Ibn Battuta lahir pada 25 Februari 1304. Ia besar dalam keluarga keturunan suku Berber yang terkenal dengan nama suku Lawata. Orangtuanya masih hidup ketika ia meninggalkan Maroko. Ia dan beberapa keluarganya mendapat pengajaran ilmu hukum. “Selama tahun-tahun masa remajanya, ia memperoleh nilai-nilai dan kepekaan seorang lelaki yang berpendidikan,” tulis Dunn. Pada abad ke-14, Tangier bukanlah pusat kegiatan pendidikan di Afrika Utara. Waktu Ibnu Battuta tumbuh, kota ini belum punya lembaga pengajaran, yang baru didirikan oleh penguasa baru, Dinasti Marinid. Namun, Tangier tetap punya keluarga-keluarga cendekiawan, pejabat agama di masjid-masjid dan lembaga agama lainnya, pejabat administrasi, penasihat hukum dan hakim, serta guru dan guru besar bagi para putera keluarga kaya dari kalangan pedagang dan tuan tanah.

“Pendidikan yang diterima Ibnu Battuta adalah suatu yang berharga bagi seorang anggota keluarga ahli hukum,” jelas Dunn. “Keluarganya berkedudukan terhormat sebagai anggota elite para cendikiawan kota.” Diduga, meski berasal dari suku Berber, Ibnu Battuta menggunakan bahasa Arab di rumah dan pergaulannya. Di usia remaja, ia telah mampu bertata krama dalam kehidupan seorang sarjana dan menjadi lelaki beradab penopang budaya kota.

Separuh Hidup Berkelana

Ibnu Battuta bukan seorang turis yang datang untuk menikmati alam, budaya, atau apapun. Menurut sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Taufik Abdullah, ia adalah seorang ulama yang terpelajar. Dalam pengelanaannya, ia tak ubahnya seorang ulama yang berkelana sambil menyebarkan ilmunya. “Di berbagai tempat, ia tampil sebagai penasihat atau kepercayaan sang penguasa. Tak jarang pula, ia menjadi pejabat keagamaan atau utusan seorang penguasa ke penguasa lainnya. Di atas segalanya, ia adalah seorang ulama yang selalu ingin memperdalam ilmunya dari ulama lain,” kata Taufik Abdullah dalam “Secercah Kisah: Ibn Battuta Sang Penjelajah Muslim Tanpa Bandingan” yang disampaikan di Borobudur Writers and Cultural Festival 2018.  Kisah perjalanan Ibnu Battuta merentang hampir tiga puluh tahun. Dalam waktu itu, ia telah melintasi kawasan Dunia Timur, mengunjungi daerah-daerah yang luasnya sama dengan luas 44 negara pada zaman modern.Menurut Taufik, hampir seluruh hidupnya berkelana di dalam batas yang disebut Dar al-Islam, negeri-negeri yang penduduknya mayoritas muslim atau paling tidak raja dan para pangeran yang memerintah mayoritas muslim lalu memberlakukan syariat Islam. Dimulai dari Maghribi di Afrika, Tangiers di Maroko ke Jazirah Arab, sampai ke Asia Kecil di wilayah yang disebut para pelancong barat sebagai Bulan Sabit yang Subur, lalu ke anak benua India, dan ujung Pulau Sumatra hingga ke Tiongkok.

“Ia adalah pengelana pertama yang mengunjungi seluruh dunia Islam yang dikenal waktu itu,” kata Taufik. Suatu hari, saat mampir di Damaskus dalam perjalanannya kembali ke Maroko, Ibnu Battuta mendapat kabar ayahnya telah meninggal dunia 15 tahun lalu. Lalu disusul ibunya yang ia dengar baru meninggal beberapa bulan sebelumnya. Waktu itu ia sedang ibadah haji. Mampir untuk kesekian kalinya ke Makkah.

“Bisa dimengerti kalau setelah beberapa hari sampai di Tangiers hatinya terdorong untuk melanjutkan perjalanan ke wilayah Andalus di Semenanjung Iberia,” kata Taufik. Petualangan Ibnu Battuta diakhiri usai bersafari dengan rombongan unta, melintasi Gurun Sahara menuju Kerajaan Mali di wilayah Sudan, Afrika Barat. Pada 1355, ia akhirnya benar-benar pulang kampung untuk menetap.